Suap Menyuap Dalam Perspektif Islam
Suap dalam islam
Kita tentunya banyak dan sering mengikuti perkembangan bangsa kita Indonesia, baik dari media cetak maupun elektonik, berita-berita di televisi, radio dan internet yang tak pernah sepi dari membahas permasalahan-permasalahan bangsa yang tak kunjung selesai sampai saat ini, permasalahan berupa kasus korupsi, suap, menyalahgunakan wewenang menjadi topik hangat yang sering didiskusikan, dibahas dan diberitakan, seperti larinya tahanan dan para koruptor keluar dari penjara dengan menikmati hiburan bahkan jalan-jalan keluar negeri dengan menyuap pejabat yang berwenang tampaknya suatu hal yang biasa dan ringan. Apakah suap atau risywah dalam istilah Islam adalah suatu hal yang kecil ataukah sebaliknya, yaitu termasuk dosa besar dan pelakunya mendapatkan siksa yang berat di akhirat kelak?.
Untuk kembali menyegarkan pemahaman kita tentang risywah atau suap dalam Islam. Kata Risywah menurut bahasa dalam kamus Al-Mishbahul Munir dan Kitab Al-Muhalla ibnu Hazm yaitu: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” Atau pengertian risywah menurut Kitab Lisanul ‘Arab dan Mu’jamul Washith yaitu: “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu“. Maka berdasarkan definisi tersebut, suatu yang dinamakan risywah adalah jika mengandung unsur pemberian atau athiyah, ada niat untuk menarik simpati orang lain atau istimalah, serta bertujuan untuk membatalkan yang benar (Ibtholul haq), merealisasikan kebathilan (ihqoqul bathil), mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan (almahsubiyah bighoiri haq) , mendapat kepentingan yang bukan menjadi haknya (al hushul ‘alal manafi’) dan memenangkan perkaranya atau al hukmu lahu.
Bagaimanakah hukum risywah dalam Islam tentang suap dalam islam? Beberapa nash di dalam Al-Quran dan Sabda Rosulullah mengisyaratkan bahkan menegaskan bahwa Risywah suatu yang diharamkan di dalam syariat, bahkan termasuk dosa besar, Allah Swt berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqoroh: 188)
Kemudian firman Allah:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS. Al-Maidah; 42)
Iman Al-Hasan dan Said bin Jubair mengomentari ayat ini dengan mengatakan bahwa ma’na “akkaluuna lisshuht”yaitu risywah, karena risywah identik dengan memakan harta yang diharamkan Allah.
Di dalam hadits disebutkan:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي
هذا حديث صحيح الإسناد
Dari Abdullah bin Umar ra berkata, “Rosulullah melaknat bagi penyuap dan yang menerima suap.” (HR. Al-Khamsah dishohihkan oleh at-Tirmidzi)
وعن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : “كل لحم نبت بالسحت فالنار أولى به ” قالوا : يا رسول الله ؛ وما السحت ؟ قال : “الرشوة في الحكم” . قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه : رشوة الحاكم من السحت وعن ابن مسعود أيضا أنه قال : السحت أن يقضي الرجل لأخيه حاجة فيهدي إليه هدية فيقبلها.
“Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (ashuht), nerakalah yang paling layak untuknya. Sahabat bertanya: “Wahai Rosulullah, apa barang haram yang di maksud itu?”. Rosulullah bersabda: “Suap dalam perkara hukum.” (Tafsir Al-Quthubi, tafsir surat Al-Maidah ayat: 42)
Umar bin Khatthab berkata: menyuap hakim adalah dari perkara shuht. Ibnu Mas’ud berkata: “Perbuatan Shuht adalah seseorang menyelesaikan hajat saudaranya maka orang tersebut memberikan hadiah kepadanya lalu dia menerimanya.”
Dari uraian ayat-ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa Suap dalam islam merupakan perkara yang diharamkan oleh Islam, baik memberi ataupun menerimanya sama-sama diharamkan di dalam syariat. Namun ada pengecualian yang menurut mayoritas ulama memperbolehkan penyuapan yang dilakukan oleh sesorang untuk mendapatkan haknya, karena dia dalam kondisi yang benar dan mencegah kezholiman terhadap orang lain, dalam hal ini dosanya tetap ditanggung oleh yang menerima suap. (Hal ini dapat dilihat lebih mendalam dalam kitab Kasyful Qina’ 6/304) Nihayatul Muhtaj 8/ 243, AlQurthubi 6/183, Al-Muhalla 8/118, Matholib ulin Nuha, dalam bab-bab yang membahas tentang suap dan memakan harta haram).
Dalam permasalahan ini Imam Abu Hanifah membagi pengertian risywah ini ke dalam 4 hal:
Pertama, memberikan sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan kedudukan ataupun jabatan, maka hukumnya adalah haram bagi pemberi maupun penerima.
Kedua, memberikan sesuatu kepada hakim agar bisa memenagkan perkaranya, hukumnya adalah haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut adalah benar, karena hal itu adalah sudah menjadi tugas seorang hakim dan kewajibannya.
Ketiga, memberikan sesuatu agar mendapat perlakuan yang sama di hadapan penguasa dengan tujuan mencegah kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang dsuap saja. Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan disuap” dengan berkata, “jika ditujukan untuk membenarkan yang salah dan menyelahkan yang benar. Adapun jika seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya maka hal itu tidak apa-apa”.
Keempat, memberikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di pengadilan atau instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan atau pada instansi tersebut, maka hukumnya halal bagi keduanya, baik pemberi dan penerima, karena hal tersebut sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkan nya. Tapi Ibnu Mas’ud dan Masyruq lebih cenderung bahwa pemberian tersebut termasuk juga suap yang dilarang, karena orang tersebut memang harus membantunya agar tidak terzholimi, sebagaimana firman Allah:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan janganlah sekali-kali karena kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha berat siksanya.” (dari kitab Mau’shuah Fiqhiyah dan Tafsir ayat ahkam Lil Jashosh)
Kaum muslimin yang dirahmati Allah
Maka bila dilihat dari sisi esensi risywah yaitu pemberian (athiyyah), maka ada beberapa istilah dalam Islam yang memiliki keserupaan dengannya, di antara hal tersebut adalah:
Pertama: Hadiah, yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang sebagai penghargaan atau ala sabilil ikram. Perbedaannya dengan risywah adalah, jika risywah diberikan dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, sedangkan hadiah diberikan dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa kasih sayang.
Kedua: Hibah, yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah bahwa Ar-Raasyi yaitu pemberi suap memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu, sedangkan Al-Waahib atau pemberi hibah memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu.
Ketiga: Shadaqoh, yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan keridhoaan dan pahala dari Allah Swt. Seperti halnya zakat ataupun infaq. Perbedaannya dengan risywah adalah bahwa seseorang yang bersedekah ia memberikan sesuatu hanya karena mengharapkan pahala dan keridhoaan Allah semata tanpa unsur keduniawian yang dia harapkan dari pemberian tersebut.
Lalu bagaimanakan jika pemberian hadiah atau hibah tersebut diberikan oleh seseorang kepada pejabat pemerintah atau penguasa, ataupun hakim, maka dalam hal ini Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari Abu Humaid As-saidi dalam hadits yang masyhur dengan istilah Hadits Ibnul Utbiyah sebagai berikut:
حدثنا عبد الله بن محمد قال حدثنا سفيان عن الزهري عن عروة بن الزبير عن أبي حميد الساعدي رضي الله تعالى عنه قال استعمل النبي رجلا من الأزد يقال له ابن الأتبية على الصدقة فلما قدم قال هذا لكم وهذا أهدي لي قال فهلا جلس في بيت أبيه أو بيت أمه فينظر أيهدي له أم لا والذي نفسي بيده لا يأخذ أحد منه شيئا إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء أو بقرة لها خوار أو شاة تيعر ثم رفع بيده حتى رأينا عفرة إبطيه أللهم هل بلغت أللهم هل بلغت ثلاثا
Dari Abi Humaid As Sa’idi ra berkta Nabi saw mengangkat seseorang dari suku Azdy bernama Ibnu Al-Utbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang kepada Rosulullah, ia berkata: Ini untuk anda dan ini dihadiahkan untuk saya. Rosulullah bersabda, ” Kenapa ia tidak duduk saja di rumah ayahnya aatau ibunya, lantas melihat apakah ia akan diberi hadiah atau tidak. Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua akan bersuara dengan suaranya, kemudian Rosulullah mengangkat tangannya sampai kelihatan ketiaknya lantas bersabda, Ya Allah tidaklah kecuali telah aku sampaikan, sungguh telah aku sampaikan, sungguh telah aku sampaikan. (HR. Bukhori)
Risywah hukumnya tetap haram walaupun menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dan lain-lain, sebagaimana hadits di atas. Oleh karena itu, setiap perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi dan legal yang terkait dengan jabatan atau pekerjaan merupakan harta ghulul atau korupsi yang hukumnya tidak halal meskipun itu atas nama ‘hadiah’ dan tanda ‘terima kasih’ akan tetapi dalam konteks dan perspektif syariat Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’ atau syibhu risywah yaitu semi suap, atau juga risywah masturoh yaitu suap terselubung dan sebagainya.
Para ulama berpendapat, bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak halal atau seperti risywah maka harus dikembalikan kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, atau kepada ahli warisnya jika pemiliknya sudah meninggal, jika pemiliknya tidak diketahui maka harus dikembalikan kepada baitul maal, atau dikembalikan kepada negara jika itu dari uang negara dalam hal ini adalah uang rakyat, atau digunakan untuk kepentingan umum. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat setelah mengambil harta orang lain secara tidak benar, sebagaiamna ungkapannya: “jika pemiliknya diketahui maka diserahkan kepada pemiliknya, jika tidak diketahui maka diserahkan untuk kepentingan umat islam.”
Seorang muslim yang baik dan sholih harus berusaha untuk menjauhkan diri dari harta yang haram, tidak menerima dan tidak memakannya. Jika terpaksa dan telah menerimanya serta tidak dapat mengelak darinya maka hendaklah harta tersebut tidak dipergunakan untuk keperluan pribadi dan keluarganya khususnya terkait dengan kebutuhan makanan. Namun hendaklah harta tersebut dipergunakan untuk keperluan sosial dan kepentingan sarana umum, seperti jalan raya, jembatan dll.
Rosulullah bersabda:
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس إن الله عز و جل طيب لا يقبل إلا طيبا و إن الله عز و جل أمر المؤمنين بما به المرسلين فقال : يا أيها الرسل كلوا من الطيبات ، و قال : يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم ، ثم ذكر الرجل يطيل السفر أشعث أغبر يمد يده إلى السماء يا رب ! يا رب ! و مطعمه حرام و مشربه حرام و ملبسه حرام و غذي بالحرام فأنى يستجاب له ( أخرجه مسلم)
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah azza wajalla adalah Dzat yang Baik dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik, dan Allah memerintahkan kaum muslimin sebagaimana memerintakan kepada para nabi, “Wahai Rosul-rosul makanlah dari yang baik-baik” dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari yang baik-baik yang kami rezekikan kepadamu.” Kemudian Rosulullah menyebutkan bahwa sesorang yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya kusut, dan berdebu menengadakan keduabelah tangannya ke langit sambil berdoa; wahai Rabb, wahai Tuhan, sedangkan makanannnya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya. (HR. Muslim).
Source : www.ikadi.co.id