Anomali Tenaga Kerja Asing
“May Day”, atau Hari Buruh Internasional semestinya diperingati setiap tanggal 1 Mei, tapi Selasa, 1 September 2015, puluhan ribu buruh se-Jabodetabek, berunjuk rasa mengepung Istana Merdeka, tempat berkantor Presiden RI, untuk menyampaikan sekian butir tuntutan. Tuntutan dimaksud, dianggap sudah sangat mendesak, sehingga tidak perlu lagi menunggu hari peringatan buruh internasional yang masih sangat jauh untuk menyampaikan tuntutan.
Terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (USD) yang berakibat pada pelambatan ekonomi nasional, dinilai oleh para buruh telah berimplikasi luas terhadap nasib para buruh di Indonesia. Diantara sepuluh butir tuntutan yang disampaikan, dua diantara itu dijadikannya sebagai tuntutan yang sudah mendesak. Yakni, menolak pemutusan hubungan kerja, serta menolak masuknya tenaga kerja asing, sekaligus memperketat syarat perizinan.
Atas dua tuntutan itu, diantaranya adalah soal terjadinya pemutusan hubungan kerja. Oleh Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, diakui sebagai dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Hingga akhir Agustus 2015, ada sekitar 26.000 pekerja yang terkena PHK, dari potensi 30.000 orang ke depan. Makanya, Hanif Dhakiri berharap agar para pengusaha menjadikan PHK sebagai jalan terakhir. Sebab PHK berlangsung, pengangguran meningkat.
Tapi kemudian menjadi sangat anomali, karena pada saat yang sama, tenaga kerja asing kian deras memasuki dan membanjiri tanah air, terutama berasal dari kawasan Tiongkok. Bahkan banyak mendapatkan perlakuan istimewa di era pemerintahan Jokowi-JK saat ini. Sebut satu diantaranya soal syarat wajib bisa berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing sebagaimana diatur dalam Permenakertrans 12/2013, kemudian dihilangkan pada Permenaker 16/2015.
Berdasar data Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, sekitaran Januari-Agustus 2015, ada 20.911 tenaga kerja asing asal Cina, sekaligus jumlah tertinggi. Sementara 17,911 orang asal Jepang di peringkat kedua. Serta ada pula 15.495 orang dari Korea Selatan menempati peringkat ketiga. Jumlah itu, kata Menteri Ketenagakerjaan, tak usah dirisaukan karena hanya berbanding sekitaran 0,1 persen saja dari jumlah angkatan kerja dalam negeri.
Berdasar perbandingan jumlah angka-angka seperti itu, pemerintah boleh menganggapnya enteng, tetapi jika diperbandingan dengan jumlah angkatan kerja dalam negeri yang masih menganggur, bahkan makin bertambah dengan angka pekerja yang terkena kebijakan PHK, maka tentu bukan lagi persoalan sederhana yang dapat dianggap enteng. Sebab kenyataan terjadi, sekalipun tanpa masuknya tenaga asing, lapangan kerja tersedia pun sangat minim.
Sebenarnya, tenaga kerja asing membanjiri tanah air, terutama di era pemerintahan Jokowi-JK sekarang ini, khususnya berasal Tiongkok, adalah berbarengan fengan datangnya investor dari kawasan itu. Skill mereka, di atas rata-rata skill angkatan kerja di Indonesia. Pemerintah dituntut membijakinya secara ketat. Sebab tak mustahil, kelak tenaga kerja Indonesia bakal mengalami nasib, ayam mati di lumbung padi. Makanya, buruh secepatnya berunjuk rasa.
Makassar, 02 September 2015